Artikel

Hakikat Dan Sejarah Disyariatkan Untuk Berpuasa

Perlu kita sadari bersama bahwa ibadah puasa yang sering kali Umat Muslim kerjakan, pada dasarnya memiliki esensi dan sejarah yang penting untuk diketahui dan dipahami dalam proses pengamalannya. Mengapa penting untuk kita ketahui ?, supaya saat melaksanakan ibadah puasa kita mampu memperoleh hikmah dan penghayatan dalam menjalankannya, dan juga tidak sekedar memenuhi kewajiban beribadah dalam Islam.

Jawaban mengenai esensi dan sejarah ibadah puasa dapat kita peroleh dari dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Berikut adalah penjelasan ringkas mengenai esensi dan sejarah adanya ibadah puasa.

Definisi Puasa Menurut Al-Qur’an

Dalam bahasa Arab ibadah puasa berasal dari akar kata صام-يصوم yang berarti menahan, diam tidak bicara dan berhenti. Adapun penyebutan ibadah puasa dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua term lafal, yaitu lafal Shiyam’ (صيام) dan Shoum (صوم) . Lafal Shiyam’ (صيام) dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 9 kali yang terdapat dalam 7 ayat, yaitu di surat Al- Baqarah ayat 183, 187 dan 196, surah An-Nisa’ ayat 92, surah Al-Maidah ayat 89 dan 95, dan surah Al-Mujadalah ayat 4.

Dari seluruh ayat tersebut dapat memberi simpulan bahwa lafal Shiyam’ (صيام) dalam Al-Qur’an lebih mengarah pada ibadah puasa yang telah disyariatkan, yaitu menahan makan, minum dan bersetubuh bagi suami istri dari waktu fajar hingga waktu maghrib, dengan didasari rasa kepatuhan dalam menjalankan perintah Allah Swt. Sedangkan, lafal Shoum (صوم) dalam Al-Qur’an disebut hanya sekali dalam Al-Qur’an, yang terdapat pada surah Maryam ayat 26.

Ringkasnya lafal Shoum (صوم) pada ayat tersebut menjelaskan tentang anjuran untuk menahan diri tidak berbicara, ketika sesuatu yang akan dibicarakan tidak bermanfaat. Hal tersebut juga selaras dengan perkataan Rasulullah Saw, beliau bersabda “Barangsiapa yang beriman kepada Allah di kemudian hari, maka hendaklah dia berucap yang baik atau diam saja.”

Hikmah dan Keistimewaan Puasa

Maka hikmah yang bisa diambil pada lafal Shoum (صوم) pada ayat tersebut adalah tentang ajuran umat muslim untuk meminimalisir bicara sebagai upaya untuk menjaga lisan.

Keistimewaan dalam ibadah puasa juga dijelaskan dalam salah satu hadist Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946, yang berbunyi:
عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”

Hikmah dari hadist di atas adalah ibadah puasa merupakan suatu amal ibadah yang tidak terserang riya’, karena yang mengetahui amalan tersebut hanyalah Allah swt. Sedangkan ibadah yang lainnya terlihat amalannya, dan sedikit sekali yang mampu terbebas dari pandangan riya’. Itulah keistimewaan ibadah puasa dibandingkan dengan amalan ibadah yang lainnya.

Hakikat dan Sejarah Penyariatan Puasa

Hakikat dan sejarah awal disyariatkan untuk berpuasa diabadikan dan dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 183, sebagaimana Allah berfirman:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Merujuk dari penjelasan tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, setidaknya terdapat 3 (tiga) point penting yang bisa diambil hikmah dalam penjelasan tafsir tersebut, antara lain:

  • Iman Sebagai Dasar Dalam Menjalankan Ibadah Puasa.

Pada penggalan awal ayat, diawali dengan seruan kepada orang-orang yang beriman. Pernyataan tersebut menjadi tanda bahwa Allah Swt ingin menyampaikan suatu perintah penting ataupun larangan berat kepada hambanya yang beriman. Mengapa diperuntukkan bagi hamba-Nya yang beriman ?, sebab Allah Swt. telah memperhitungkan hanya orang-orang beriman lah yang mampu melaksanakan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya.

Orang-orang beriman pada konteks ini adalah orang yang dalam dirinya terdapat iman, sehingga dengan itu ia mampu merubah kebiasaannya dan mampu menahan nafsunya selama waktu ibadah puasa berlangsung. Berbeda dengan orang-orang yang dalam dirinya tidak terdapat iman, tentu akan terasa berat sekali dalam menjalankan ibadah puasa. Sebab tergoda oleh kenikmatan dunia yang tiada habisnya. Alhasil tidak sempurnalah puasa yang amalkan pada saat itu.

  • Ibadah Puasa Telah Ada Jauh Sebelum Hadirnya Agama Islam.

Pada penggalan tengah ayat, tertulis bahwa orang-orang beriman dianjurkan untuk berpuasa sepertihalnya umat terdahulu. Pernyataan tersebut menguatkan tentang bukti sejarah bahwa ibadah puasa yang diamalkan oleh nabi-nabi terdahulu dan agama-agama samawi yang hadir sebelum agama Islam lahir itu benar adanya dan baik untuk diamalkan. Seperti halnya Nabi Musa AS yang pernah berpuasa selama 40 hari. Selanjutnya, Nabi Zakariya dan Maryam (Ibu Nabi Isa Almasih) juga memperaktekan puasa dengan tidak makan, minum, bersetubuh dan juga berpuasa dari berbicara. Kemudian, Nabi Isa Almasih yang mengajarkan ketika menjalankan ibadah puasa agar tidak memperlihatkan diri kalau sedang berpuasa. Dengan cara berpenampilan rapi dan bersemangat dalam menjalankan aktvitas.

Begitupun juga dengan agama-agama besar selain Agama Islam, seperti Agama Yahudi yang menjalankan puasa di hari-hari tertentu, seperti puasa selama satu minggu untuk memperingati hancurnya Jerusalem dan dibangunya kembali. Adapun Agama Kristen yang berpuasa pada hari besar sebelum hari paska dan juga puasa-puasa lain yang diperintahkan oleh para pendeta pada sekte mereka masing-masing. Bahkan agama Hindu dan Budha juga mengajarkan puasa sehari semalam yang dimulai dari tengah hari, tetapi diperbolehkan untuk minum.

  • Kunci untuk memperoleh Derajat Taqwa Kepada Allah Swt.

Pada penggalan akhir ayat, memiliki terjemahan supaya kalian menjadi orang yang bertaqwa. Pernyataan tersebut menyimpan suatu hikmah bahwa untuk mencapai derajat taqwa kepada Allah Swt. bisa dengan menjalankan puasa yang dibarengi oleh rasa penuh keimanan kepada-Nya. Adapun kategori orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang menjalan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan rasa penuh keimanan. Tentu, hal ini menjadi petanda bagi umat muslim yang mampu menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya, agar bisa termasuk kategori hamba Allah Swt. yang bertaqwa.

Kesimpulan

Kesimpulan singkat dari penjelasan di atas adalah dalam menjalankan ibadah puasa perlu dilandasi oleh rasa keimanan yang kuat. Sebab, dengan itu umat muslim mampu terbebas dari segala godaan duniawi yang mampu membatalkan dan mengurangi sempurnanya ibadah puasa. Menariknya, ibadah ini juga sudah lama ada sebelum Agama Islam hadir. Pastinya banyak sekali kebaikan yang tersimpan didalamnya. Maka barangsiapa yang mampu menyempurnakan ibadah puasanya, Ia akan memperoleh derajat taqwa di sisi Allah Swt.

Penulis: Muhammad Farhan Abdurrahman

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
4.6/5

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru