Penulis: M. Rafsanjani
Kitab suci al-Qur’an mengandung balaghah atau susunan retorika yang sulit difahami secara zahir (gamblang). Sehingga para pengkaji al-Qur’an membutuhkan suatu metode untuk memahami substansi makna al-Qur’an.
Kemudian, muncullah sekian rentetan metode yang diharapkan dapat membantu menuntaskan penggalian makna dari bahasa ayat-ayat al-Qur’an. Seperti hermeunetika, semiotika dan semantik.
Salah satu kegunaan beberapa metode bahasa, untuk memahami susunan cerita di dalam al-Qur’an melalui kajian lafadz. Seperti lafadz makānan ‘āliyan pada kisah Nabi Idris yang penulis kaji pada tulisan singkat ini dengan menggunakan metode semantik. Sebelum itu, penulis hendak membahas metode simantik terlebih dahulu.
Asal-Usul Semantik
Sebenarnya, apabila ditelusuri lebih jauh, penelitian tentang semantik sudah didapati sejak zaman sahabat dengan Ibnu Abbas sebagai tokoh utamanya. Hal ini diketahui, saat para sahabat menemukan kalimat atau kata yang sukar difahami dalam al-Qur’an mereka akan menghadap dan bertanya Ibnu Abbas.
Pasalnya, Ibnu Abbas memang ahli atau dipandang otoritatif dalam hal bahasa al-Quran. Bahkan beliau juga pernah dido’akan nabi agar dijadikan pribadi yang ‘alim dan mampu menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Namun, pada masa klasik tersebut semantik belum disahkan dan dijadikan menjadi satu cabang ilmu khusus dalam lingusitik seperti masa kontemporer ini.
Kemudian, semantik berdiri sendiri dan dijadikan satu cabang ilmu pada abad ke-19 di Eropa. Pada awal kemunculanya, Semantik dianggap sebagai ilmu yang murni-historis, atau masih berkaitan erat dengan unsur di luar bahasa, seperti perubahan latar belakang makna, budaya, logika, psikologi, dan sebagaianya.
Kajian semantik menjadi lebih terarah dengan kehadiran “Bapak Linguistik Modern” atau biasa dikenal dengan Ferdinand De Saussure. Pada masa ini, diperkenalkan dua pendekatan bahasa yaitu pendekatan diakronis yang bersifat historis. Menurutnya, bahasa merupakan satu kesatuan dan ia merupakan satu system yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan atau berhubungan.
Makna Term “Makaanan ‘Aliyya” dalam surah Maryam:19:57
Nama asli Nabi Idris AS adalah Akhnukh (Henokh). Pemberian nama Idris dipakai karena banyak mempelajari kitab-kitab dan mushaf Nabi Adam AS dan Syits. Kata “idris” sendiri berasal dari bahasa Arab “dars” yang artinya pembelajaran, mengajarkan (wahyu Allah). Nama beliau disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 2 kali, yaitu dalam surah al-Anbiya:21:85 dan surah Maryam:19:57. Dalam surah Maryam, nama Nabi Idris disebutkan dengan redaksi وَرَفَعۡنَـٰهُ مَكَانًا عَلِیًّا
“Dan Kami telah mengangkatnya dengan martabat yang tinggi”.
Term makānan disebutkan sebanyak 15 kali dalam al-Qur’an dengan redaksi yang sama tanpa derivasi namun dengan makna yang berbeda-beda tentunya. Dalam Bahasa Arab, term makānan diartikan dengan “Tempat”. Dalam konteks ini, makna tempat tersebut memiliki sifat tempat yang berada pada ketinggian.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim ketika memaknai term tersebut mengutip pendapat Imam Mujahid, beliau menuturkan bahwa Nabi Idris (diangkat) ke tempat tersebut dalam keadaan belum meninggal sebagaimana Nabi Isa diangkat. Beliau menambahkan, tempat tujuan yang dimaksud adalah langit ke empat.
Dalam hal ini, Imam Fakhruddin al-Razi membagi menjadi dua bagian tempat (pengangkatan) Nabi Idris:
- Pertama, beliau berpendapat bahwa pengangkatan tersebut bukan kepada tempat yang tinggi. Namun pengangkatan yang dimaksud adalah pengangkatan derajat, sebagaimana derajat Nabi Muhammad diangkat dan dimuliakan Allah melalui ayat “Dan Kami tinggikan sebutan (namamu) bagimu”. Beliau menambahkan, pengangkatan tersebut berupa kemuliaan beliau dijadikan nabi dan diberikan 30 lembaran, beliau juga orang yang pertama kali menulis menggunakan pena, menaruh perhatian kepada ilmu nujum dan ilmu hisab, juga menjahit pakaian dan mengenakan kulit (hewan) sebagai pakainya.
- Kedua, pendapat mengenai (pengangkatan) beliau ke tempat yang lebih tinggi dianggap lebih utama atau lebih kuat karena definisi “pengangkatan” berhubungan dengan tempat bukan derajat. Kemudian Imam Fakhrudin al-Razi menyebutkan sekian perbedaan pendapat mengenai (tempat) tujuan pengangkatan Nabi Idris. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa “tempat tinggi” yang dimaksud adalah pengangkatan Nabi Idris ke surga dalam keadaan hidup dan tidak mati. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa Nabi Idris hanya diangkat ke atas tanpa menyebutkan urutan langit kemudian ruh Nabi Idris dicabut.
Pemaknaan ayat-ayat Allah SWT menggunakan metode ini dianggap efektif. Hal tersebut dibuktikan oleh para pengkaji al-Qur’an yang mengetahui sekaligus memahami makna dari ayat-ayat yang dikaji dengan pandangan para mufassir yang bersifat variatif dan bersanad. Selain itu, pengkaji dapat menemukan makna yang amat dalam menurut sekian kamus mengenai ayat yang diteliti sehingga penelitian atau pengkajian ayat-ayat Allah SWT memiliki sanad yang terpercaya dan kredibel. Tidak mungkin jika seseorang memahami ayat-ayat Allah SWT dengan prasangkanya sendiri atau tanpa guru. Hal tersebut amat urgent karena pemahaman pengkaji tanpa tuntunan atau guru akan menghasilkan produk tafsir yang berisiko dan tidak kredibel. Wallahu a’lam
Editor: Faiq El-Meida