Tulisan ini terinspirasi dari seorang pendakwah kondang Indonesia, al-Ustadz Zainuddin MZ. Ceramah dai sejuta umat tersebut memantik rasa penasaran saya tatkala beliau mengatakan “Hidup paling tenang adalah hidup model tukang parkir”. What’s, Tukang parkir? Apa istimewanya ya?. Mengapa beliau tidak mengatakan “hidup paling tenang adalah seperti pak presiden” ataukah sejenisnya yang ‘mungkin’ lebih mampu menggetarkan semangat anak bangsa agar tinggi bercita-cita. Rupanya kawan, di balik Statement tersebut, pak Zainuddin hendak menyampaikan hikmah luar biasa kepada kita semua. Hikmah yang berkaitan erat dengan relasi hidup antara manusia dengan keduniaannya. Yang darinya pula, menyadarkan kembali bahwa hakikat hidup di dunia ini bukan sekedar pemenuhan materi dan berujung sifat materialistik.
Hendaklah ada prinsip yang membentengi jiwa manusia agar tidak terjerembab dalam kehinaan nafsu duniawi yang seringkali menodai hati nurani. Bukan sebuah hal yang rendah, ketika nanti kita mulai menyadari urgensi meneladani tukang parkir. Sebab, hal tersebut mengandung untaian hikmah indah dan pelajaran bagi mereka yang mau berfikir akan tujuan hidup. Di balik tukang parkir, terdapat filosofis yang mengandung etika praktis. Bahkan, nilai-nilai tersebut telah terabadikan dalam al-Qur’an dan menjadi cerminan Akhlak Rasulullah Saw, sang teladan sepanjang zaman. Malahan, akan menjadi sebuah bencana besar bila manusia gagal mengamalkan nilai filosofistersebut.
Lantas, ada apa sebenarnya dibalik eksistensi tukang parkir?… untuk menjawab rasa penasaran anda, mari kita telaah bersama. Nilai Filosofis Tukang Parkir dalam Islam Seorang tukang parkir memiliki karakter istimewa yang selaras dengan nilai islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Hal itu terlukis dari fenomena yang kita lihat dan temui sehari-hari yang kemudian saya tarik kesimpulan menjadi 4 poin utama. Pertama, Tukang parkir tak habis-habisnya didatangi mobil mewah berderet-deret, namun ia selalu rendah hati dan tidak pernah menyombongkan diri.
Kedua, ia sadar bahwa barang-barang megah yang ada dalam kuasanya itu hanyalah titipan. Ketiga, sebab ia merasa dititipi, maka ia amat menjaganya dengan sebaik-baiknya. Keempat, ketika beragam kendaraan yang berharga tersebut diambil satu per satu, ia tidak bersedih hati ataupun kecewa. Demikianlah nilai-nilai filosofis dari tukang parkir, yang ternyata mengandung keselarasan dengan ajaran islam. Menghindari Hubb ad-Dunya lebih tepatnya, sebagaimana karakter yang diwariskan para Nabi dan tercermin pada pribadi sufi dalam keberislamannya. Bahkan, mereka sangat kental dengan tradisi zuhud demi memelihara cinta suci kepada Sang Maha Kekal Abadi agar tidak berpaling kepada cinta yang fana. Maka, disinilah letak relevansi antara tukang parkir dengan tradisi islam yang akan diuraikan lebih dalam. Berikut uraiannya:
Rendah hati dan tidak sombong
Karakter pertama adalah rendah hati dan tidak sombong. Jelas sekali, bahwa karakter itu haruslah ada di setiap jiwa seorang mukmin. Teruntuk mereka yang telah sampai pada keyakinan bahwa total semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, maka ia tak akan pernah sombong, minder, iri, ataupun dengki.1 Seperti halnya yang Allah firmankan dalam al-Qur’an terkait nasihat Luqman kepada buah hatinya:َDan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Pak Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah mengatakan bahwa nasihat Luqman sebagaimana ayat di atas, berkenaan dengan akhlak dan sopan santun saat berinteraksi dengan sesama. Beliau mengatakan pada sang anak agar jangan memalingkan muka pada manusia disertai dengan penghinaan dan kesombongan. Namun, hadapilah mereka dengan wajah berseri yang penuh kerendahan hati. Sebab Allah tidak melimpahkan kasih sayang-Nya kepada orang-orang yang sombong, lagi membanggakan diri
Memiliki kesadaran penuh bahwa dunia ini hanya titipan
Ibn Athaillah dalam kitab al-H{ikam mengatakan bahwa segala apa yang kita punya hanyalah barang semu dan titipan yang akan di ambil kembali oleh Allah. Misalkan saja, ketika barang kesayangan yang saat ini kita ‘miliki’ terbakar dan hangus, kita sama sekali tidak mampu menjadikannya utuh seperti sedia kala. Ataupun ketika seseorang memiliki miliaran uang di bank, namun tidak lantas mengubah statusnya sebagai hamba yang fakir di hadapan Allah.
Tatkala kita menyadari bahwa dunia ini hanya sekedar titipan, sejatinya kita telah meraih suatu kunci kebahagiaan. Sebab, kebahagiaan hakiki adalah di saat jiwa kita merdeka dari monopoli nafsu duniawi. Disamping itu, mari kita ingat kisah sang Rasulullah Muhammad menjelang wafat. Saat manusia pada umumnya mengakumulasikan seluruh harta benda sebagai warisan kepada keluarga, beliau dengan segala kebijaksanaan rida melepaskan keduniaan yang Allah titipkan padanya. Kala itu sehari sebelum wafat, Rasulullah memerdekakan para pembantu laki-laki beliau, menyedekahkan harta yang masih tersisa sebanyak 7 dinar, dan memberikan senjata beliau kepada kaum muslimin. Sekali lagi, bahwa hal itu terjadi menjelang Rasul wafat. Maka, menjadi renungan bersama bahwa ketika manusia wafat nanti, ia sejatinya tiada mampu mengusung apapun dari dunia, melainkan amal salihnya
Kesadaran menjaga titipan dengan sebaik-baiknya
Sebab ia menyadari bahwa berderet harta yang ada di depannya adalah titipan ,maka ia menjaga titipan itu dengan sebaik mungkin. Bayangkan saja bila pemiliknya
datang hendak mengambil kendaraannya, sedangkan kendaraan itu dalam keadaan tidak baik-baik saja, pemiliknya pasti akan murka. Sesuai dengan kehidupan ini, kawan.
Ketika manusia merasa bahwa harta dan materi yang bergelimang di hadapannya tersebut adalah titipan dari Allah dan hanya milik Allah, maka ia akan menjaga dan
mengelolanya dengan sebaik-baiknya.
Atau ketika seseorang merasa dititipi oleh Allah sebuah tahta dan jabatan, pasti ia akan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Karena ia tahu bahwa ketika ia menyalah gunakan titipan tersebut, Allah sang Maha Memiliki pasti akan murka dan ia akan jauh dari rida-Nya. Rida dan tidak kecewa saat sang pemilik mengambil apa yang dititipkan padanya Kita mungkin tidak pernah menjumpai tukang parkir yang melampiaskan kekecewaan saat pemilik kendaraan tersebut mengambilnya satu per satu.
Mengapa harus kecewa, sedang ia sadar bahwa apa yang ada di hadapannya bukanlah miliknya. Ia merasa dititipi, bukan memiliki. Karena, segala sesuatu yang ada pada kehidupan ini tak lain adalah fana. Rasulullah yang mulia, meskipun beliau memiliki akses yang sangat mudah untuk mendapatkan dunia, tapi hal tersebut tidak mampu mencuri hati beliau. Justru dari keduniaan yang Allah anugerahkan, dimanfaatkannya sebagai perantara untuk berdakwah di jalan Allah secara totalitas. Sebagaimana janji Allah kepada tiap jiwa yang tenang dan rida, yang disebut dengan al-nafs al-mutma’innah.
Rida dan tidak kecewa saat sang pemilik mengambil apa yang dititipkan padanya
Kita mungkin tidak pernah menjumpai tukang parkir yang melampiaskan kekecewaan saat pemilik kendaraan tersebut mengambilnya satu per satu. Mengapa harus kecewa, sedang ia sadar bahwa apa yang ada di hadapannya bukanlah miliknya. Ia merasa dititipi, bukan memiliki. Karena, segala sesuatu yang ada pada kehidupan ini tak lain adalah fana. Rasulullah yang mulia, meskipun beliau memiliki akses yang sangat mudah untuk mendapatkan dunia, tapi hal tersebut tidak mampu mencuri hati beliau. Justru dari keduniaan yang Allah anugerahkan, dimanfaatkannya sebagai perantara untuk berdakwah di jalan Allah secara totalitas. Sebagaimana janji Allah kepada tiap jiwa yang tenang dan rida, yang disebut dengan al-nafs al-mut}ma’innah. Allah berfirman dalam QS. Al-Fajr:
Hai jiwa yang tenang.(27) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.(28)
Buya Hamka, dalam tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa al-nafs al-mut}ma’innah ialah jiwa yang telah mencapai tenang dan tentram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Yang telah matang dengan berbagai ujian hidup. Sesungguhnya mereka memiliki dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan. Sedangkan sayap yang kedua adalah sabar ketika rizki hanya cukup untuk sekedar makan, mereka tidak mengeluh.
Maka, merekalah orang-orang yang mendapatkan kabar gembira dari Allah terkait ganjaran surga tersebab keridaan hati mereka sebagaimana termaktub dalam ayat tersebut.
Tak jarang, hal-hal kecil yang mewarnai kehidupan ini kerap diremeh-temehkan. Padahal bila ditinjau kembali, di balik segala sesuatu pasti mengandung hikmah tersendiri.
Sebagaimana hikmah dari tukang parkir yang telah kita bahas di atas. Bisa kita bayangkan bilamana seseorang gagal mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya.
Betapa banyak manusia yang senang mendewakan material atas klaim kepemilikan yang sewenangwenang. Maka sebagai muslim dan muslimah yang budiman, mari berusaha berbijaksana terhadap dunia, dengan tuntunan cahaya islam yang mencerahkan lagi menyelamatkan.